
Laporan itu menyangkut dugaan pelanggaran serius lain yang dilakukan PT DDP, yakni tidak mengurus keterlanjuran alihfungsian kawasan hutan menjadi kebun sawit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Berdasarkan informasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, PT DDP salah satu perusahaan yang tidak mengajukan permohonan hingga batas waktu yang ditentukan pemerintah. Koordinator Penggugat Riko Putra, S.Ip, SH, MH menilai tindakan itu jelas melanggar regulasi dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan jangka panjang. Hilangnya fungsi hutan penyangga dipastikan memberi dampak buruk, bukan hanya pada ekosistem, tetapi juga pada keberlangsungan hidup masyarakat sekitar.

“Hal ini secara terang-terangan menumbur regulasi yang ada. Kami rasa sudah sehar
usnya diproses secara hukum, karena kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dan berlangsung lama,” tandasnya.
Sebelumnya Kasus dugaan pencemaran Sungai Pisang akibat aktivitas Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Daria Darma Pratama (DDP) Mukomuko terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu.
Gugatan masyarakat senilai Rp 7 miliar terhadap perusahaan sawit tersebut kembali mengalami penundaan lantaran majelis hakim meminta penggugat melengkapi sejumlah berkas persyaratan sidang. Dimana sidang lanjutan dijadwalkan pada 27 Agustus 2025 mendatang.
Riko Putra, S.Ip, SH, MH, mengatakan dalam sidang perdana beberapa waktu yang lalu ditemukan kekurangan administrasi, khususnya terkait format gugatan yang diajukan sebagai class action atau gugatan perwakilan kelompok. Dalam mekanisme ini, terdapat syarat tambahan berupa blanko dukungan yang harus diisi dan ditandatangani warga terdampak sebelum diunggah kembali ke sistem pengadilan.
“Ada beberapa berkas di sidang perdana yang kurang, maka dari itu kami diminta melengkapi dan mengunggah ulang sebelum 27 Agustus 2025,” kata Riko.
Riko memastikan seluruh berkas akan dipenuhi sesuai arahan majelis hakim. Menurutnya, langkah hukum ini bukan semata persoalan ganti rugi, melainkan wujud perjuangan masyarakat yang selama ini dirugikan akibat pencemaran sungai. Setidaknya demi warga 6 desa terdampak langsung, yang 3 di antaranya berhadapan langsung dengan aliran Sungai Pisang yang menjadi sumber utama kehidupan sehari-hari.
“Intinya, kami ingin keadilan atas tindakan ilegal PT DDP. Sudah terlalu lama masyarakat menanggung kerugian tanpa ada langkah nyata dari pemerintah maupun aparat penegak hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Perencanaan, Pemanfaatan Hutan dan KSDAE Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, Samsul Hidayat, S. Hut, MM menyampaikan, berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Provinsi Bengkulu. 5 perusahaan sawit yang tidak mengajukan pengampunan hingga batas waktu ditutup. Ke 5 perusahaan tersebut yaitu, PT Daria Darma Pratama, PT PD Pati, PT Persada Sawit Mas, PT Laras Prima Sakti, dan PT Jetropa Solution. Kelima perusahaan ini, termasuk PT DDP, tidak lagi bisa masuk dalam ketentuan Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja karena melewati tenggat waktu yang diberikan. Kaus Bengkulu
“PT DDP ini salah satunya. Mereka tidak lagi punya ruang untuk mengurus keterlanjuran, maka dari itu bisa terancam pidana,” tegas Samsul.
Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Mukomuko, Saprin Efendi S.Pd, menegaskan bahwa pembukaan kawasan hutan secara terang-terangan di wilayah ini bukanlah hal baru. Menurutnya, wajar jika upaya kooperatif pemerintah pusat agar perusahaan yang telah menggarap kawasan hutan melengkapi administrasinya tidak dijalankan. Tidak adanya pengajuan pengurusan keterlanjuran kawasan hutan oleh PT DDP sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025, seperti yang disampaikan DLHK Provinsi. ini menunjukkan adanya dugaan unsur kesengajaan yang harus diperhatikan aparat penegak hukum. Sesuai Undang-Undang Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 Pasal 110a dan 110b, kebun sawit yang berada di kawasan hutan memang masih diperbolehkan beroperasi, namun wajib melengkapi persyaratan administratif sesuai peraturan. “Hari ini, implementasi persyaratan tersebut tidak terlihat di PT DDP, anehnya lagi tidak ada sanksi tegas. Tentu masyarakat bertanya, ada apa ini,” tegas Saprin.